Penulis, Muhammad Dzoharul Arifin
Alfaqiri bin Munawwar Abdullah Afandi, (Kyai Tanjung) adalah bukan
apa-apa dan bukan siapa-siapa. Sungguh merupakan menusia wantah, normal
dan lemah, tidak bisa apa, tidak ada apa-apanya, tempatnya salah, kurang
dan bisanya hanya membuat dosa.
Saya (penulis) sadar-sesadar-sadarnya,
bahwa sesungguhnya saya tidak layak dan tidak pantas menyandang predikat
kyai, hanya karena memimpin sebuah Pondok Pesantran POMOSDA dan Jamaah
Lil-Muqorrobin (JAMAAH JATAYU), hal ini dikarenakan saya hanya “sak
dermo menjalankan Dhawuh Guru saya, (alm) Mbah Kyai Haji Muhammad
Munawwar Abdullah Afandi, tidak pantas dan tidak layak karena:
- Dilihat dari pandang sudut kepesantrenan saya tidak memiliki latar belakang pondok di pesantren tertentu.
- Dilihat dari pandang sudut akademik, tidak memiliki latar pendidikan yang layak dan pantas, karena tidak memiliki latar belakang pendidikan apapun.
- Dilihat dari birokrasi, dan perpolitikan, serta ke-organisasian (ORMAS) sama sekali tidak pernah memiliki latar belakang dan pengalaman dalam dunia politik dan kenegaraan, dan keorgansisasian.
- Jika saya sebutkan satu-persatu tidak ada satupun yang bisa dihaturkan pada berkategori layak dan pantas sebagai penyampai, dan saya sangat sadar akan hal ini, namun hanya karena nuhoni dhawuh Guru kami, untuk menyampaikan maka kami sampaikan sekedar yang kami ketahui (semoga dalam ridho dan maghfirahnya), mencuplik kalimat Guru kami, “sampaikan, sing penting nyampekne, aja mikir diterima atau tidak, dipercaya apa ora, kuwi dudu wilayahmu, Sing penting ojo ngaku, aja diaku, wong nyata sing isa, sing obah, ki ya Pengeran dhewe, ‘laa haula walaa quwwata illaa billah’, kowe wujud kok aku wujud. Kowe menyampaikan kok aku kuwi isamu, kuwi dosa kang gedhe, hananging yen ora nyampaikake kowe ugo dosa, wis milih sing ngendi wis mangsa borongo”
Saat saya sekolah, pada tahun 1996, di
tengah perjalanan ditimbali/dipanggil untuk mesti pulang, untuk membantu
bapak (Mbah Kyai Munawwar Abdullah Afandi), untuk mulai ikut terlibat
di manajemen pesantren POMOSDA dan di jamaah Lil-Muqorrobin
(GERJALIBIN), dengan segala keterbatasan yang saya miliki.
Di tahun 2008, mbah kyai mulai sering
gerah (sakit), sehingga saya sering didhawuhi untuk mengganti mengaji
pada jamaah Lil-Muqorrobin (jamaah ini adalah jamaah tauhid ilmu
Syatoriyah, yang lebih dikenal dengan tariqah Syatoriyah), dan di tahun
2009 bapak mulai dhawuh mewakili “menunjukkan” Al-Ghaybullah, “Alimul
Ghoibi” ilmu yang menunjukkan keberadaan Diri Dzatullah bagi calon
jamaah yang meminta ilmu dengan methode inisiasi bisik (lebih dikenal
dengan “BAI’AH” persaksian), dan di tahun 2012 pada tanggal 5 Agustus
bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, Bapak, yang sekaligus Guru kami
meninggal Dunia, pulang ke Rahmatullah.
Mengenai bai’ah dan persaksian.
Bai’ah persaksian adalah Ikatan janji “persaksian”, “(ikatan)
janji yang sebenarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (tidak mengetahui bahwa
ikatan itu adalah “persaksian” sehingga mengenali Keberadaan-Nya, Yang
Al-Ghayb Yang Allah Nama-Nya) (QS. Ruum 6)
Didalam Q.S Fath 10, difirmankan bahwa bai’ah adalah kemutlakan, supaya dalam ikatan persaksian dan kasunyatan “Bahwasanya
orang-orang yang berjanji setia kepada kamu (kaf-nya ini adalah
bermuwajahah, artinya berhadap-hadapan) sesungguhnya mereka berjanji
setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa
yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan
menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah
maka Allah akan memberinya pahala yang besar”. (QS. Fath 10)
Mbah K.H. Muhammad Munawwar Abdullah
Afandi, Almaghfurllah, memberi wasiat, bahwa Ilmu Tauhid yang kemudian
disebut dengan Ilmu Tauhid Syatoriyah “proses” keabsahan hak dan sah
dalam gilir gumanti adalah dalam mata rantai silsilah “gulowentah”
artinya atas Kehendak Allah Piyambak, tidak dalam rekayasa akal pikiran
manusia, bukan hasil kesepakatan manusia namun jelas dan terwoco antara
Guru yang menunjuk yang melanjutkan dan yang akan ditunjuk yang nantinya
akan melanjutkan pasti pernah hidup bersama dalam kurun waktu yang sama
dalam satu waktu dan pasti pernah kedhawuhan mewakili tugas-tugas
Gurunya, dan ini pasti tidak sebentar bahkan tahun-tahunan, INI ADALAH
“GULOWENTAH”. seperti halnya KN Muhammad kepada Sayyidina Ali (mohon
untuk tidak difahami Syi’ah, sebab ilmu ini dan kami sama sekali tidak
berkaitan dengan syi’ah, syiah adalah golongan kelompok karena sisi
lahiriyah sedang di kami adalah sisi ke-ilmuan “ketauhidan). Sama sekali
tidak berorientasi kepada kekuatan dan kekuasaan pemerintahan, namun
berorientasi dalam PERSAKSIAN dan KESELAMATAN.
Dan sungguh selama kedhawuhan saya tidak
pernah berpikir kalau hal apa yang dilakukan bapak (maghfurllah Mbah
Kyai Munawwar Abdullah Afandi) kepada saya adalah “proses” Gulowentah,
sampai pada tahun 2012 bulan Maret, bapak merekam “inti” makna dan
maksud gulowentah tersebut, bagian dari ilmu kasunyatan.
Dan pada bulan Juli akhir mulai
wasiat-wasiat, yang saat itu saya sangat sadar-sesadar-sadaranya bahwa,
saya sangat tidak layak, tidak pantas, sebab banyak murid beliau (perlu
diketahui bahwa keberlangsungan Ilmu Tauhid Syatoriyah belum tentu putra
darah daging kulit yang digulowentah, semuanya atas Kehendak Allah,
tidak ada unsur campur tangan manusia siapa yang akan melanjutkan
nantinya dan siapanya yang akan berada dalam rantai silsilah gulowentah)
dan juga beberapa paman, baik secara akademik dan kepesantrenan jauh
lebih layak dari saya.
Sehingga saat Mbah Kyai Munawwar
Abdullah Afandi “ngendikan”, “kowe kudu wani rekoso lan kangelan, aja
wedi lara lapa, sing tatag, sing teteg, sing lugas lan tegas, iki wis
sangat titi wanci bukak, namun jangan sampai berani ngaku, sebab kowe ki
ya tetep ‘murid’ sing kedhawuhan mewakili aku, kaya dene aku mewakili
Mbah Kyai Muhammad Khusnun Malibari, yen kowe wani ngaku sak
gedhe-gedhene dosa, malah dadi murtad, neroko jahanam disik dhewe, wis
titi wanci sangat untuk memberi tahu, menginformasikan mengenai
“kebenaran yang tersem-bunyi yang selama ini dipingit dan telah dianggap
hilang, sampaikan kebenaran ini semampumu, mengenai diterima atau
tidak, itu berkaitan dengan ‘hidayah’ milik Allah, aja nganti dadekake
pegelmu, lan susahmu, kudu tansah nyegara lan lapang dada, dan penuh
dengan permakluman bahwa, mesti tetep harus berbaik dan menanamkan
kebaikan dengan siapapun, golongan apapun, aliran apapun, agama apapun,
bab dunia dengan segala tatanannya adalah wilayah syareat, mati
sendiri-sendiri, selamat sendiri-sendiri” Pengeran Sendiri yang membuat
keputusan.
Sungguh “demi Allah” demi yang kepala
dan mbun-mbunan “kulo” dalam genggamanNya, saya sempat “matur” keberatan
karena saya tidak memiliki latar belakang “apapun” untuk mendukung
seperti apa yang “beliau” ngendikak-ake tersebut dalam poin diatas,
sampai pada titik “penegasan”, sambil ngendikan, “ora isa apa-apa, ora
duwe apa-apa, ora duwe latar belakang apa-apa malah gampang anggone
nafi’ake lan gampang anggone deleh (meletakkan) akunya, wis lakonono,
sak dermo nglakoni, dilakoni tandange panggah ning ora wani ngaku,
mangsa borongo!!” akhirnya saya hanya menjawab, “DALEM TANSAH NYUWUN
PANGESTUNIPUN”.
Untuk hal semua tersebut, mohon maaf,
mohon dimaklumi atas segala hal yang tersampaikan ini kepada pembaca
atas hal poin-poin diatas yang saya haturkan, sungguh saya hanya sak
dermo. Setelah memperhatikan keprihatinan keadaan dan situasi bangsa dan
negara yang tampak “menuju” carut marut, semrawut dan setelah melihat
perkembangan-perkembangan dan kondisi saat ini yang memerlukan
langkah-langkah semua komponen dalam membangun kebersamaan,
kekeluargaan, kesatuan persatuan bangsa maka, dengan keterbatasan diatas
ketidak-layakan dan ketidak pantasan, kami melakukan partisipasi
“kepedulian” semoga dalam ridha Allah, dan dalam maghfirahNya.
Kemudian dengan ini mengucap “bismillah
tawakkaltu ‘alaallah, laa haula walaa quwwata illa billah” bagian dari
“sak dermo” menyampaikan maka kami akan menyampaikan mengenai
“kepancasilaan” dan kegarudaan” dalam terapan kehidupan sehari-hari dan
dalam pengelolaan kebersosialan dan kebermasyarakatan dalam pandang
sudut ahli Syatoriyah (wasiat dari Guru kami).
Selama ini kami sesungguhnya telah
terlibat bersama dengan jamaah kami yang menyebar di seluruh Nusantara
dengan program-program pemberdayaan kepada jamaah dan masyarakat, namun
banyak bersifat “kemandirian” dan tidak membawa bendera apapun kecuali
hanya “bendera” lillahi, billahi, fillahi, sehingga menjadi wajar bahwa
keberadaan” kami, tidak banyak dikenal oleh masyarakat.
Dan kami secara pribadi, kepada peserta
sarasehan dan handai tolan serta semua tokoh dan pembaca mohon dengan
kebesaran hati, longgar ing penggalih dan dengan lapang dadanya, mohon
untuk maklumnya, dan mohon maafnya atas segala kekurangan, kelepasan,
kesembronoan dan juga jika tidak berkenan dihati….sekali lagi mohon
maaf. Semoga kita semua dalam ampunan Allah, dalam maghfirahNya dan
ditarik dengan fadhal dan RahmatNya, dan semoga selalu dalam syafaat
Rasulullah SAW. Dan negara Ini segera diKersak-aKe Pangeran diwujudkan
negara Yang “baldatun thoyyibatun warobbun Ghafur.
“Wabillahi taufiq wal hidayah” “Wallaahul muwafiq ilaa aqwamith thaariq”
IHDINASH SHIRATHAL MUSTAQIM, Wa bilhaq wa bilhuda wa diinil haq li yudzhirahu ‘alad diini kullihi”
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu.
Sabtu, 17 Oktober 2015 / 4 Muharram 1437 H
TANJUNG, Pondok Sufi JATAYU, Tanjunganom Nganjuk JATIM
Muh. Dzoharul Arifin Alfaqiri Abdullah Afandi.
(Kyai Tanjung)
mantap
BalasHapusterimakasih
HapusTgl 10-03-2018
BalasHapusRencana nya bapak kyai ini mau mengisi pengajian di masjid kami di kalteng
Masyaallah
HapusNgestukaken dawuh Romo
BalasHapus