Copyright 2017 @ Abdi Bapak Kyai Tanjung. Diberdayakan oleh Blogger.

Profil Bapak Kyai Tanjung

Penulis, Muhammad Dzoharul Arifin Alfaqiri bin Munawwar Abdullah Afandi, (Kyai Tanjung) adalah bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Sungguh merupakan menusia wantah, normal dan lemah, tidak bisa apa, tidak ada apa-apanya, tempatnya salah, kurang dan bisanya hanya membuat dosa.

Saya (penulis) sadar-sesadar-sadarnya, bahwa sesungguhnya saya tidak layak dan tidak pantas menyandang predikat kyai, hanya karena memimpin sebuah Pondok Pesantran POMOSDA dan Jamaah Lil-Muqorrobin (JAMAAH JATAYU), hal ini dikarenakan saya hanya “sak dermo menjalankan Dhawuh Guru saya, (alm) Mbah Kyai Haji Muhammad Munawwar Abdullah Afandi, tidak pantas dan tidak layak karena:
  1. Dilihat dari pandang sudut kepesantrenan saya tidak memiliki latar belakang pondok di pesantren tertentu.
  1. Dilihat dari pandang sudut akademik, tidak memiliki latar pendidikan yang layak dan pantas, karena tidak memiliki latar belakang pendidikan apapun.
  1. Dilihat dari birokrasi, dan perpolitikan, serta ke-organisasian (ORMAS) sama sekali tidak pernah memiliki latar belakang dan pengalaman dalam dunia politik dan kenegaraan, dan keorgansisasian.
  1. Jika saya sebutkan satu-persatu tidak ada satupun yang bisa dihaturkan pada berkategori layak dan pantas sebagai penyampai, dan saya sangat sadar akan hal ini, namun hanya karena nuhoni dhawuh Guru kami, untuk menyampaikan maka kami sampaikan sekedar yang kami ketahui (semoga dalam ridho dan maghfirahnya), mencuplik kalimat Guru kami, “sampaikan, sing penting nyampekne, aja mikir diterima atau tidak, dipercaya apa ora, kuwi dudu wilayahmu, Sing penting ojo ngaku, aja diaku, wong nyata sing isa, sing obah, ki ya Pengeran dhewe, ‘laa haula walaa quwwata illaa billah’, kowe wujud kok aku wujud. Kowe menyampaikan kok aku kuwi isamu, kuwi dosa kang gedhe, hananging yen ora nyampaikake kowe ugo dosa, wis milih sing ngendi wis mangsa borongo”
Saat saya sekolah, pada tahun 1996, di tengah perjalanan ditimbali/dipanggil untuk mesti pulang, untuk membantu bapak (Mbah Kyai Munawwar Abdullah Afandi), untuk mulai ikut terlibat di manajemen pesantren POMOSDA dan di jamaah Lil-Muqorrobin (GERJALIBIN), dengan segala keterbatasan yang saya miliki.

Di tahun 2008, mbah kyai mulai sering gerah (sakit), sehingga saya sering didhawuhi untuk mengganti mengaji pada jamaah Lil-Muqorrobin (jamaah ini adalah jamaah tauhid ilmu Syatoriyah, yang lebih dikenal dengan tariqah Syatoriyah), dan di tahun 2009 bapak mulai dhawuh mewakili “menunjukkan” Al-Ghaybullah, “Alimul Ghoibi” ilmu yang menunjukkan keberadaan Diri Dzatullah bagi calon jamaah yang meminta ilmu dengan methode inisiasi bisik (lebih dikenal dengan “BAI’AH” persaksian), dan di tahun 2012 pada tanggal 5 Agustus bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, Bapak, yang sekaligus Guru kami meninggal Dunia, pulang ke Rahmatullah.

Mengenai bai’ah dan persaksian.

Bai’ah persaksian adalah Ikatan janji “persaksian”, “(ikatan) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (tidak mengetahui bahwa ikatan itu adalah “persaksian” sehingga mengenali Keberadaan-Nya, Yang Al-Ghayb Yang Allah Nama-Nya) (QS. Ruum 6)

Didalam Q.S Fath 10, difirmankan bahwa bai’ah adalah kemutlakan, supaya dalam ikatan persaksian dan kasunyatan “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu (kaf-nya ini adalah bermuwajahah, artinya berhadap-hadapan) sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar”. (QS. Fath 10)

Mbah K.H. Muhammad Munawwar Abdullah Afandi, Almaghfurllah, memberi wasiat, bahwa Ilmu Tauhid yang kemudian disebut dengan Ilmu Tauhid Syatoriyah “proses” keabsahan hak dan sah dalam gilir gumanti adalah dalam mata rantai silsilah “gulowentah” artinya atas Kehendak Allah Piyambak, tidak dalam rekayasa akal pikiran manusia, bukan hasil kesepakatan manusia namun jelas dan terwoco antara Guru yang menunjuk yang melanjutkan dan yang akan ditunjuk yang nantinya akan melanjutkan pasti pernah hidup bersama dalam kurun waktu yang sama dalam satu waktu dan pasti pernah kedhawuhan mewakili tugas-tugas Gurunya, dan ini pasti tidak sebentar bahkan tahun-tahunan, INI ADALAH “GULOWENTAH”. seperti halnya KN Muhammad kepada Sayyidina Ali (mohon untuk tidak difahami Syi’ah, sebab ilmu ini dan kami sama sekali tidak berkaitan dengan syi’ah, syiah adalah golongan kelompok karena sisi lahiriyah sedang di kami adalah sisi ke-ilmuan “ketauhidan). Sama sekali tidak berorientasi kepada kekuatan dan kekuasaan pemerintahan, namun berorientasi dalam PERSAKSIAN dan KESELAMATAN.

Dan sungguh selama kedhawuhan saya tidak pernah berpikir kalau hal apa yang dilakukan bapak (maghfurllah Mbah Kyai Munawwar Abdullah Afandi) kepada saya adalah “proses” Gulowentah, sampai pada tahun 2012 bulan Maret, bapak merekam “inti” makna dan maksud gulowentah tersebut, bagian dari ilmu kasunyatan.

Dan pada bulan Juli akhir mulai wasiat-wasiat, yang saat itu saya sangat sadar-sesadar-sadaranya bahwa, saya sangat tidak layak, tidak pantas, sebab banyak murid beliau (perlu diketahui bahwa keberlangsungan Ilmu Tauhid Syatoriyah belum tentu putra darah daging kulit yang digulowentah, semuanya atas Kehendak Allah, tidak ada unsur campur tangan manusia siapa yang akan melanjutkan nantinya dan siapanya yang akan berada dalam rantai silsilah gulowentah) dan juga beberapa paman, baik secara akademik dan kepesantrenan jauh lebih layak dari saya.

Sehingga saat Mbah Kyai Munawwar Abdullah Afandi “ngendikan”, “kowe kudu wani rekoso lan kangelan, aja wedi lara lapa, sing tatag, sing teteg, sing lugas lan tegas, iki wis sangat titi wanci bukak, namun jangan sampai berani ngaku, sebab kowe ki ya tetep ‘murid’ sing kedhawuhan mewakili aku, kaya dene aku mewakili Mbah Kyai Muhammad Khusnun Malibari, yen kowe wani ngaku sak gedhe-gedhene dosa, malah dadi murtad, neroko jahanam disik dhewe, wis titi wanci sangat untuk memberi tahu, menginformasikan mengenai “kebenaran yang tersem-bunyi yang selama ini dipingit dan telah dianggap hilang, sampaikan kebenaran ini semampumu, mengenai diterima atau tidak, itu berkaitan dengan ‘hidayah’ milik Allah, aja nganti dadekake pegelmu, lan susahmu, kudu tansah nyegara lan lapang dada, dan penuh dengan permakluman bahwa, mesti tetep harus berbaik dan menanamkan kebaikan dengan siapapun, golongan apapun, aliran apapun, agama apapun, bab dunia dengan segala tatanannya adalah wilayah syareat, mati sendiri-sendiri, selamat sendiri-sendiri” Pengeran Sendiri yang membuat keputusan.

Sungguh “demi Allah” demi yang kepala dan mbun-mbunan “kulo” dalam genggamanNya, saya sempat “matur” keberatan karena saya tidak memiliki latar belakang “apapun” untuk mendukung seperti apa yang “beliau” ngendikak-ake tersebut dalam poin diatas, sampai pada titik “penegasan”, sambil ngendikan, “ora isa apa-apa, ora duwe apa-apa, ora duwe latar belakang apa-apa malah gampang anggone nafi’ake lan gampang anggone deleh (meletakkan) akunya, wis lakonono, sak dermo nglakoni, dilakoni tandange panggah ning ora wani ngaku, mangsa borongo!!” akhirnya saya hanya menjawab, “DALEM TANSAH NYUWUN PANGESTUNIPUN”.

Untuk hal semua tersebut, mohon maaf, mohon dimaklumi atas segala hal yang tersampaikan ini kepada pembaca atas hal poin-poin diatas yang saya haturkan, sungguh saya hanya sak dermo. Setelah memperhatikan keprihatinan keadaan dan situasi bangsa dan negara yang tampak “menuju” carut marut, semrawut dan setelah melihat perkembangan-perkembangan dan kondisi saat ini yang memerlukan langkah-langkah semua komponen dalam membangun kebersamaan, kekeluargaan, kesatuan persatuan bangsa maka, dengan keterbatasan diatas ketidak-layakan dan ketidak pantasan, kami melakukan partisipasi “kepedulian” semoga dalam ridha Allah, dan dalam maghfirahNya.
Kemudian dengan ini mengucap “bismillah tawakkaltu ‘alaallah, laa haula walaa quwwata illa billah” bagian dari “sak dermo” menyampaikan maka kami akan menyampaikan mengenai “kepancasilaan” dan kegarudaan” dalam terapan kehidupan sehari-hari dan dalam pengelolaan kebersosialan dan kebermasyarakatan dalam pandang sudut ahli Syatoriyah (wasiat dari Guru kami).

Selama ini kami sesungguhnya telah terlibat bersama dengan jamaah kami yang menyebar di seluruh Nusantara dengan program-program pemberdayaan kepada jamaah dan masyarakat, namun banyak bersifat “kemandirian” dan tidak membawa bendera apapun kecuali hanya “bendera” lillahi, billahi, fillahi, sehingga menjadi wajar bahwa keberadaan” kami, tidak banyak dikenal oleh masyarakat.

Dan kami secara pribadi, kepada peserta sarasehan dan handai tolan serta semua tokoh dan pembaca mohon dengan kebesaran hati, longgar ing penggalih dan dengan lapang dadanya, mohon untuk maklumnya, dan mohon maafnya atas segala kekurangan, kelepasan, kesembronoan dan juga jika tidak berkenan dihati….sekali lagi mohon maaf. Semoga kita semua dalam ampunan Allah, dalam maghfirahNya dan ditarik dengan fadhal dan RahmatNya, dan semoga selalu dalam syafaat Rasulullah SAW. Dan negara Ini segera diKersak-aKe Pangeran diwujudkan negara Yang “baldatun thoyyibatun warobbun Ghafur.

“Wabillahi taufiq wal hidayah” “Wallaahul muwafiq ilaa aqwamith thaariq”
IHDINASH SHIRATHAL MUSTAQIM, Wa bilhaq wa bilhuda wa diinil haq li yudzhirahu ‘alad diini kullihi”

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu.

Sabtu, 17 Oktober 2015 / 4 Muharram 1437 H
TANJUNG, Pondok Sufi JATAYU, Tanjunganom Nganjuk JATIM

Muh. Dzoharul Arifin Alfaqiri Abdullah Afandi.

(Kyai Tanjung)

5 komentar: